Laporan mengenai revolusi seks remaja (Koran Pendidikan/12-18/2005) mungkin akan membuat kita tersadar akan realita dunia pendikan kita dewasa ini, apalagi jika merenungkan data-data yang dimuat. Tindakan memalukan yang dilakukan oleh sebelas pelajar SMA Negeri II Cianjur tersebut bukanlah semata-mata perkelahian atau adu mulut seperti yang biasa dilakukan oleh para siswa melainkan adegan "pamali" seks yang terjadi didalam ruang kelas. Ironisnya, sesuai dengan pengakuan pelaku dan beberapa saksi, tindakan tersebut telah dilakukan sejak lama.Yang lebih menyakitkan lagi setelah diketahui bahwa ternyata seorang guru terlibat kegiatan seks bebas bersama mereka. Guru yang berinisial DS, pengajar Biologi ayah tiga orang anak tersebut sempat pula "mencicipi" muridnya sebelum menawarakannya kepada lelaki hidung belang. Sebelumnya juga Kabupaten Mojokerto dihebohkan pula dengan kasus foto telanjang siswa kelas III sebuah SMU Negeri
Kisah memalukan sekaligus memilukan tersebut sebenarnya buka rahasia lagi jika kita mau jujur. Lihat saja hasil riset Synote (2004) yang menunjukkan bahwa di empat kota yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan, dari 450 responden, 44% mengaku berhubungan seks pertama kali pada usia 16-18 tahun. Bahkan ada 16 responden yang mengenal seks sejak umur 13-15 tahun. Sebanyak 40% responden melakukan seks di rumah, 26 % dikos, dan 20% lainnya di hotel. Hasil survey ini seakan menjustifikasi Survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terhadap 2.880 remaja usia 15-24 tahun di enam kota di Jawa Barat pada tahun 2002, yang ternyata juga menunjukkan angka yang menyedihkan. Didapatkan data bahwa 39,65% dari mereka mengaku pernah berhubungan seks sebelum nikah.
Mengamati fenomena sosial tersebut, hati nurani kita akan tergerak untuk -paling tidak-mencermati dua hal sesuai dengan pandangan Sudarwan Danim (2003). Pertama, gejala tereduksinya moral dan nurani sebagian SDM anak bangsa, dengan bukti empirik kasus diatas. Kedua, arus masuk generasi muda ke lembaga pendidikan setiap jenjang sebagai sebagai bagian dari dikursus pengembangan SDM Indonesia seutuhnya. Kedua hal tersebut sangat erat sekali kaitannya dimana realitanya orang sekolah diidealisasikan sebagai orang terdidik dan memiliki persyaratan yang khas, misalnya jika dibandingkan dengan tukang becak, penarik delman, tukang cangkul, dan sebagainya.
Pendidikan sejatinya merupakan proses pembentukan moral bagi manusia yang beradab, manusia yang maju dan tampil dengan aura kemanusiaan. Pendidikan idealnya memfokuskan diri sebagai pembentuk nalar emosional dan afeksi. Sayangnya pendidikan kita sekarang tidak lebih dari sekedar sekolah dengan berbagai mata pelajaran yang harus ditempuhanak didik. Hasilnya, produk pendidikan tidak lebih dari menghasilkan masyarakat yang mengklaim sebagai masyarakat modern. Realitanya distrosi perilaku dan pelanggaran moral terus berlanjut. Gejala abnormalitas sebagian anak didik saat ini tidak lagi sebatas kenakalan remaja, dan tawuran, melainkan juga sudah merambah keaksi mogok belajar, pengompasan, asusila, narkoba dan sebagainya.
Para analis cenderung melihat fenomena buruk ini bersumber dari kegagalan pendidikan moral dan budi pekerti atau kegagalan sekolah dalam memanusiawikan anak. Adapula yang melabelinya sebagai aksentuasi kekeliruan sekolah yang lebih mengutamakan pengajaran intelektual daripada pendidikan dalam makna yang luas, dimana proses pendidikan cenderung bersifat drill dan rote learning, bukan dalam format pembelajaran yang humanistic sejati.
Schoorl (1982) berpendapat bahwa praktik-praktik pendidikan merupakan wahana terbaik dalam menyiapkan SDM dengan derajat moralitas tinggi. Di Indonesia, UU RI No.2 tahun 1989, Pasal 4, dengan jelas memuat tujuan pendidikan nasional dimana pendidikan nasional idealnya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Ditegaskan pula bahwa harus dicapai pengetahuan dan keterampilan, kepribadia mantap dan mandiri, serta tanggung jawab kemanusiaan dan kebangsaan.
Jika diidealisasi itu menjadi relita maka anak didik memiliki SDM yang terampil, berada pada posisi terdepan, serta memiliki moralitas yang tinggi. Sayangnya para remaja kita sekarang seakan tersesat ke sebuah zaman baru, zaman siluman. Telah terjadi sebuah revolusi yang membuat orang cenderung mengumbar nafsu. Hal ini juga didukung dengan perubahan pandangan manyarakat sekarang dimana telah meminggirkan "tabu" atau malah menguburnya. Revolusi seks yang mencuat di Amerika Serikat dan Eropa pada Akhir Tahun 1960-an seolah sudah merambah ke "sini" melalui piranti teknologi informasi, dan sarana hiburan yang makin canggih.
Lalu apakah pola pendidikan moral kita yang salah? Rasanya tidak adil jika kesalahan hanya semata-mata ditimpakan kepada pendidik dalam menyampaikan materi moral yang hanya beberapa jam di sekolah sementara sebagian besar waktu siswa dihabiskan di luar sekolah. Wacana semacam ini perlu kita munculkan setidaknya sebagai penengah terhadap ketegangan konsep kerusakan moral ini.
Tayangan vulgar pada layar kaca adalah contoh dari ribuan bahkan jutaan realita kegundahan kita. Hal ini tentunya sejalan dengan gejala dehumanisasi, demoralisasi dan dekulturalisasi pada diri anak-anak remaja. Sebagian besar dari film dan sinema electron (sinetron) yang menjadi konsumsi masyarakat pun masih berkutat di seputar "objek rekreasi" vulgar tersebut dengan kosa kata yang sangat mudah ditebak. Kita sering menyaksikan iklan yang justru lebih menonjolkan adegan "selera rendah" berupa dua pasangan yang berciuman, berpelukan, dan hanya sedikit menonjolkan produk yang ditwarkan. Maka jadilah remaja kita tergiring pada tindakan "selera rendah" pula. Jadilah usia kronologis anak kita ketinggalan dengan usia emosionalnya yang akhirnya berporos pada aneka bentuk penyimpangan moral semakin sering kita saksikan dan dikeluhkan akhir-akhir ini.
Dengan demikian perlu kiranya penataan manajemen pertelivisian kita, terutama televisi swasta. Tayangan televisi yang bermutu tentunya akan mendukung perbaikan mental remaja karena kenyataannya masyarakat terutama remaja kita memiliki keterikatan yang besar dengan televisi. Hasil penelitian Dr. Anggadewi Moesosno (1996) membuktikan bahwa mamfaat telivisi sebagai sarana perluasan wawasan, pembentukan nilai moral dan rasa estetika lebih tinggi pada remaja bersekolah, sedangkan belajar memecahkan masalah lebih tinggi pada remaja putus sekolah. Setidaknya ada konklusi bahwa sebagai media yang bernilai hiburan, informative, pencerdasan, komersial dan sebagainya, tayangan program televisi akan sangat memberikan dampak yang besar bagi remaja. Dampak ini tentu saja bisa baik dan tidak ada jaminanpun untuk tidak buruk.
Kisah memalukan sekaligus memilukan tersebut sebenarnya buka rahasia lagi jika kita mau jujur. Lihat saja hasil riset Synote (2004) yang menunjukkan bahwa di empat kota yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan, dari 450 responden, 44% mengaku berhubungan seks pertama kali pada usia 16-18 tahun. Bahkan ada 16 responden yang mengenal seks sejak umur 13-15 tahun. Sebanyak 40% responden melakukan seks di rumah, 26 % dikos, dan 20% lainnya di hotel. Hasil survey ini seakan menjustifikasi Survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terhadap 2.880 remaja usia 15-24 tahun di enam kota di Jawa Barat pada tahun 2002, yang ternyata juga menunjukkan angka yang menyedihkan. Didapatkan data bahwa 39,65% dari mereka mengaku pernah berhubungan seks sebelum nikah.
Mengamati fenomena sosial tersebut, hati nurani kita akan tergerak untuk -paling tidak-mencermati dua hal sesuai dengan pandangan Sudarwan Danim (2003). Pertama, gejala tereduksinya moral dan nurani sebagian SDM anak bangsa, dengan bukti empirik kasus diatas. Kedua, arus masuk generasi muda ke lembaga pendidikan setiap jenjang sebagai sebagai bagian dari dikursus pengembangan SDM Indonesia seutuhnya. Kedua hal tersebut sangat erat sekali kaitannya dimana realitanya orang sekolah diidealisasikan sebagai orang terdidik dan memiliki persyaratan yang khas, misalnya jika dibandingkan dengan tukang becak, penarik delman, tukang cangkul, dan sebagainya.
Pendidikan sejatinya merupakan proses pembentukan moral bagi manusia yang beradab, manusia yang maju dan tampil dengan aura kemanusiaan. Pendidikan idealnya memfokuskan diri sebagai pembentuk nalar emosional dan afeksi. Sayangnya pendidikan kita sekarang tidak lebih dari sekedar sekolah dengan berbagai mata pelajaran yang harus ditempuhanak didik. Hasilnya, produk pendidikan tidak lebih dari menghasilkan masyarakat yang mengklaim sebagai masyarakat modern. Realitanya distrosi perilaku dan pelanggaran moral terus berlanjut. Gejala abnormalitas sebagian anak didik saat ini tidak lagi sebatas kenakalan remaja, dan tawuran, melainkan juga sudah merambah keaksi mogok belajar, pengompasan, asusila, narkoba dan sebagainya.
Para analis cenderung melihat fenomena buruk ini bersumber dari kegagalan pendidikan moral dan budi pekerti atau kegagalan sekolah dalam memanusiawikan anak. Adapula yang melabelinya sebagai aksentuasi kekeliruan sekolah yang lebih mengutamakan pengajaran intelektual daripada pendidikan dalam makna yang luas, dimana proses pendidikan cenderung bersifat drill dan rote learning, bukan dalam format pembelajaran yang humanistic sejati.
Schoorl (1982) berpendapat bahwa praktik-praktik pendidikan merupakan wahana terbaik dalam menyiapkan SDM dengan derajat moralitas tinggi. Di Indonesia, UU RI No.2 tahun 1989, Pasal 4, dengan jelas memuat tujuan pendidikan nasional dimana pendidikan nasional idealnya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Ditegaskan pula bahwa harus dicapai pengetahuan dan keterampilan, kepribadia mantap dan mandiri, serta tanggung jawab kemanusiaan dan kebangsaan.
Jika diidealisasi itu menjadi relita maka anak didik memiliki SDM yang terampil, berada pada posisi terdepan, serta memiliki moralitas yang tinggi. Sayangnya para remaja kita sekarang seakan tersesat ke sebuah zaman baru, zaman siluman. Telah terjadi sebuah revolusi yang membuat orang cenderung mengumbar nafsu. Hal ini juga didukung dengan perubahan pandangan manyarakat sekarang dimana telah meminggirkan "tabu" atau malah menguburnya. Revolusi seks yang mencuat di Amerika Serikat dan Eropa pada Akhir Tahun 1960-an seolah sudah merambah ke "sini" melalui piranti teknologi informasi, dan sarana hiburan yang makin canggih.
Lalu apakah pola pendidikan moral kita yang salah? Rasanya tidak adil jika kesalahan hanya semata-mata ditimpakan kepada pendidik dalam menyampaikan materi moral yang hanya beberapa jam di sekolah sementara sebagian besar waktu siswa dihabiskan di luar sekolah. Wacana semacam ini perlu kita munculkan setidaknya sebagai penengah terhadap ketegangan konsep kerusakan moral ini.
Tayangan vulgar pada layar kaca adalah contoh dari ribuan bahkan jutaan realita kegundahan kita. Hal ini tentunya sejalan dengan gejala dehumanisasi, demoralisasi dan dekulturalisasi pada diri anak-anak remaja. Sebagian besar dari film dan sinema electron (sinetron) yang menjadi konsumsi masyarakat pun masih berkutat di seputar "objek rekreasi" vulgar tersebut dengan kosa kata yang sangat mudah ditebak. Kita sering menyaksikan iklan yang justru lebih menonjolkan adegan "selera rendah" berupa dua pasangan yang berciuman, berpelukan, dan hanya sedikit menonjolkan produk yang ditwarkan. Maka jadilah remaja kita tergiring pada tindakan "selera rendah" pula. Jadilah usia kronologis anak kita ketinggalan dengan usia emosionalnya yang akhirnya berporos pada aneka bentuk penyimpangan moral semakin sering kita saksikan dan dikeluhkan akhir-akhir ini.
Dengan demikian perlu kiranya penataan manajemen pertelivisian kita, terutama televisi swasta. Tayangan televisi yang bermutu tentunya akan mendukung perbaikan mental remaja karena kenyataannya masyarakat terutama remaja kita memiliki keterikatan yang besar dengan televisi. Hasil penelitian Dr. Anggadewi Moesosno (1996) membuktikan bahwa mamfaat telivisi sebagai sarana perluasan wawasan, pembentukan nilai moral dan rasa estetika lebih tinggi pada remaja bersekolah, sedangkan belajar memecahkan masalah lebih tinggi pada remaja putus sekolah. Setidaknya ada konklusi bahwa sebagai media yang bernilai hiburan, informative, pencerdasan, komersial dan sebagainya, tayangan program televisi akan sangat memberikan dampak yang besar bagi remaja. Dampak ini tentu saja bisa baik dan tidak ada jaminanpun untuk tidak buruk.
0 komentar:
Posting Komentar